Dari Petani untuk Calon Jurnalis
Kesadaran
bahwa pendidikan begitu penting bagi anak-anaknya dan kewajiban menuntut ilmu
menjadi penyemangat bagi Kadun untuk memperjuangkan keinginan anaknya menjadi
calon jurnalis. Tak mengenal apa pekerjaan yang ia lakoni dan tak perduli
berapa besar biaya yang dikeluarkan untuk membiayai sekolah anaknya.
Sejak
tahun 2010, anaknya mulai duduk dibangku perkuliahan. Bermodalkan hasil sawah
yang didapatkannya ketika musim panen lalu, ia mampu memasok kebutuhan biaya
yang harus dibayarnya. Mulai dari pembayaran DPP jurusan Komunikasi yang agak
mahal, semua pembayaran dikampus hingga pembayaran uang kos.
Kadun
adalah seorang petani di sebuah desa yang terletak di kecamatan Pandaan,
kabupaten Pasuruan. Umurnya yang sudah setengah abad tak mengahalangi niat baik
anaknya untuk menuntut ilmu. Dia tak pernah bosan menjalankan rutinitas yang
sudah lama ia lakoni sejak kecil. Mulai berangkat kesawah sebelum matahari
terbit kemudian pulang untuk sholat dhuhur dan kembali lagi kesawah sampai
sebelum matahari tenggelam.
“Begitulah
rutinitas saya setiap hari, kami tak menyebutnya ke sawah melainkan ke kantor.
Bukan hanya orang kota saja yang ke kantor. Petani seperti saya juga ke kantor,
yakni sawah,” ucapnya dengan sedikit tawa.
Bapak
beranak tiga ini tak ingin nasib anaknya berakhir seperti dirinya yang harus
putus sekolah sejak Sekolah Dasar lantaran keterbatasan dana. Ia memang lahir
dari keluarga miskin pasangan petani Syukur (alm) dan Warsini (alm). Semua
pekerjaan ia lakoni untuk menutupi biaya hidupnya. Mulai menjadi petani, tukang
panggul gabah hingga menjadi makelar gabah di desanya.
Jika
petani lain akan kaya dengan hasil panennya ketika waktu panen tiba, tidak
dengan petani yang satu ini. Pekerjaan yang dilakoninya sebagai makelar gabah
di desanya menuntutnya untuk berhutang demi menutupi pembayaran gabah yang
dijual kepadanya. Dia harus mengangkut gabah yang dijual kepadanya,
satu-persatu karung gabah diangkutnya ke gudang dengan motor Suzuki yang sudah
tua. Karung demi karung diangkatnya ke atas timbangan untuk ditimbang. Kemudian
ditatanya dengan rapi tumpukan gabah itu didalam gudang menunggu giliran untuk
dijemur dan menunggu waktu yang tepat untuk dijual agar mendapatkan keuntungan
yang sepadan. Akan tetapi, tak jarang juga ia mengalami kerugian jika
sewaktu-waktu harga gabah atau kedelai turun.
Baginya,
tak gampang menjadi seorang petani. Ia harus mampu memutar otak agar hasil
panen bisa mencukupi semua kebutuhan hidup. Meskipun hasil panen jika dihitung
kelihat banyak, tetapi sebenarnya keuntungan yang didapatkannya tak sebanding
dengan modal yang digunakan untuk menanami kembali sawahnya dan perawatannya.
Arti
Penting Pendidikan
Meskipun
ia hanya seorang petani, tetapi dia begitu mengerti akan pentingnya pendidikan
bagi anak-anaknya. Ia paham bahwa perkembangan dunia tidak dapat dipungkiri
akan bertambah maju. Jika anak-anaknya tidak mengenyam pendidikan, maka akan
jauh tertinggal dibelakang. Ini semua dilakukannya lantaran memang sudah
kewajibannya sebagai orang tua untuk menyekolahkan anaknya.
Kalau
orang di desanya memilih untuk mencukupkan pendidikan anaknya sampai bangku
sekolah menengah keatas, tidak dengan Cak Kat, sapaan akrabnya. Cak Kat begitu
miris melihat realitas apa yang terjadi didesanya. Padahal menurutnya kalau
dilihat dari sisi ekonomi, mereka lebih mampu bahkan berlebih jika mau
menyekolahkan anak-anaknya sampai perguruan tinggi.
Sedikit
bercerita tentang keadaan kampungnya, cak kat mengatakan bahwa dari ratusan
anak muda di desa, bisa diitung dengan jari yang mau meneruskan pendidikannya
dan tau arti pentingnya pendidikan. Sebagian dari orang tua masih belum
mengerti akan pentingnya menuntut ilmu, begitu juga dengan anak-anaknya. Yang
terlintas dipikiran masyarakat hanya bagaimana mendapatkan kerja bermodalkan
ijazah SMA.
Bahkan
masyarakat sudah pesimis terlebih dahulu tidak akan mampu menyelesaikan
administrasi pembayaran selama sekolah. “Padahal, kalau mereka niat dan mau
pasti akan dipermudah jalannya oleh Allah, rezeki itu sudah ada yang mengatur,
apalagi buat pendidikan ada saja rezeki yang datang ketika tiba waktu
pembayaran” ujarnya dengan yakin.
Cak
Kat begitu bersyukur anak-anaknya mengerti akan pentingnya pendidikan. Ia hanya
perlu mendukung dan mendoakan. Sosok yang begitu ramah ini tak ingin apa yang
ia alami dialami pula oleh anaknya. Ia berusaha sekuat tenaga bahkan rela
mengorbankan apapun demi anaknya. Satu hal yang dipikirkannya hanyalah
bagaimana mencari rezeki yang barokah untuk membiayai anak-anaknya sekolah. Tak
peduli bagaimana keadaan tembok rumah yang mulai mengelupas, tak peduli atap
rumah yang mulai bocor dan tak peduli betapa tuanya motor yang menemani
aktivitasnya sehari-hari. Baginya kalau semua masih bisa digunakan, ia tidak
akan mengganti dengan yang baru.
Menurutnya,
menuntut ilmu sampai setinggi-tingginya itu penting. Orang yang berilmu dan
dapat bermanfaat bagi masyarakat akan mempunyai derajat tersendiri. Tak mau
kalah dengan anak-anaknya, ia juga menuntut ilmu dengan caranya sendiri. Suami
dari Nasi’ah ini secara rutin membaca tafsiran ayat demi ayat yang terdapat di
Al Quran untuk mendamaiakan hati dan pikirannya. Dengan begitu, berarti ia
sudah menambahkan sedikit ilmu ke memory yang dipunyainya untuk diamalkan suatu
saat nanti ketika dibutuhkan.
Pandangannya
Tentang Jurnalis
Kadun
sebagai sosok ayah sekaligus kepala keluarga tak memaksakan anaknya untuk
mengikuti kehendaknya dalam menentukan masa depan. Ia percayakah semua masa
depan kepada anaknya masing-masing. Karena menurutnya, yang akan menjalani
kehidupan itu anaknya bukan dirinya, ia hanya perlu mengarahkan serta mendoakan
apa yang dilakukan anaknya untuk meraih masa depan yang diinginkan.
Termasuk
pilihan yang dijalankan putri kedua-nya yang memilih untuk menggeluti dunia
jurnalistik. Sebenarnya cak kat kurang setuju dengan pilihan anaknya, akan
tetapi ia sadar bahwa bidang itu yang diminati putri semata wayangnya. Baginya
menjadi seorang jurnalis itu cukup berat, seorang jurnalis harus lari kesana
kemari mengejar narasumber untuk mendapatkan informasi. Seorang jurnalis harus
dituntut untuk hidup dibawah tekanan garis kematian. Seorang jurnalis tentu
bakal menghabiskan waktunya untuk terjun di lapangan dengan resiko kematian
yang mengancam kapanpun, apalagi kalau misalkan nantinya akan ditugaskan di
daerah konflik.
“Sebenarnya
saya lebih setuju kelak anak saya menjadi seorang guru lantaran ia seorang
perempuan,” ucap pria ramah ini. Namun, ia sadar tak mungkin ia memaksakan
kehendaknya. Ia begitu menyayangi putra-putrinya dengan caranya sendiri. Sosok
ayah satu ini membiarkan anaknya untuk menempuh jalan kesuksesannya masing-masing.
Entah apa yang bakal dilakukan anaknya, asalkan itu pekerjaan yang halal dengan
sepenuh hati orang tua akan mendukung dan senantiasa mendoakan.”Kita tak akan
tau apa yang akan terjadi dimasa depan, yang terpenting sekarang kita berusaha
dan berdoa. Semua sudah ada yang menentukan,” lontar cak Kad dengan yakin dan
mantap.
Mengakhiri
ceritanya, sebagai orang tua ia berharap dimanapun putra – putrinya berada,
kelak anak-anaknya mampu mengamalkan ilmu yang diperolehnya saat ini untuk
turut memajukan bangsa dan Negara. Ia berharap kelak anaknya akan bermanfaat
bagi masyarakat. Sebab ia percaya bahwa sebaik manusia adalah yang bermanfaat
bagi manusia yang lainnya.
Referensi
Sumber : http://sosok.kompasiana.com/2012/12/27/contoh-feature-514237.html
Komentar
Posting Komentar